Senin, Juni 23, 2025
Google search engine
BerandaHukumPABRIK BANGKRUT Vs SWAKELOLA BURUH

PABRIK BANGKRUT Vs SWAKELOLA BURUH

Oleh: ANDREANUS SIHITE, SH.MH
Editor: SOEPIANTO NB

Sejak akhir Oktober 2024, ramai diberitakan kasus pailit PT Sri Rejeki Isman Tbx (Sritex) setelah jatuhnya putusan resmi Pengadilan Niaga Kota Semarang pada 23 Oktober, tiga hari usai pelantikan mewah Prabowo Subianto sebagai presiden kedelapan Republik Indonesia. Menyusul pailit tersebut, kegelisahan 50 ribu buruh pabrik muncul. Mereka diperkirakan akan mengalami PHK. Terlebih, sejak Desember, pabrik telah kehabisan bahan baku produksi, banyak mesin yang stop produksi, dan sejumlah buruh hanya dipekerjakan paruh waktu. Mendung menggelayut makin pekat.ย ย 

Kegelisahan para buruh Sritex bukan tidak beralasan. Pasalnya, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa selama dua tahun terakhir, setidaknya ada 60 pabrik tekstil yang tutup dan 250 ribu buruh yang mengalami PHK. Apa yang bisa dilakukan para buruh dalam menghadapi ancaman PHK? Langkah apa yang sebaiknya buruh ambil? 

Di awal tahun 2025 ini, diberitakan bahwa sekitar 10 ribu buruh Sritex akan menggelar aksi ke Jakarta pada 14-15 Januari. Belakangan, aksi tersebut ditunda setelah Wamenaker mendatangi pabrik untuk berdialog dengan (menenangkan?) para buruh. Wamenaker mengatakan akan ada kabar baik, meski tanpa mampu menjelaskan lebih rinci. Apakah janji-janji pemerintah dapat sepenuhnya dipegang? Sekalipun pemerintah punya kewenangan, apakah kewenangan eksekutif tersebut diperbolehkan melangkahi kewenangan hukum? Dua pertanyaan tersebut biarlah menjadi bahan diskusi para ahli hukum. 

Yang penting bagi diskusi kita adalah: apakah-para buruh mesti sepenuhnya bergantung pada โ€œkemurahan-hatiโ€ pemerintah untuk turun tangan di dalam kasus-kasus pabrik yang bangkrut? Boleh jadi, karena besarnya pangsa pasar Sritex, pemerintah punya kepentingan dan tujuan tersendiri untuk turun tangan โ€œmenyelamatkanโ€ pabrik dan memastikan para buruhnya bekerja. Namun, bagaimana dengan pabrik-pabrik lain dengan operasional lebih kecil dan jumlah buruh yang lebih sedikit? Apakah buruh-buruh tersebut mesti juga menggelar aksi ke Jakarta agar menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah? Apakah buruh-buruh itu sebaiknya lekas-lekas cari kerja di pabrik lain? 

Apakah tidak ada alternatif? Apakah ada cara-cara lain bagi para buruh untuk dapat bertindak mandiri?

Pengalaman di Negara Lain

Kasus pabrik bangkrut bukan hanya terjadi di Indonesia. Namun, di beberapa negara, para buruh memiliki sejumlah mekanisme sosial dan hukum yang memungkinkan mereka untuk bertindak mandiri, tanpa harus bergantung pada โ€œkemurahan-hatiโ€ pemerintah untuk turun tangan menentukan nasib mereka. 

Di Argentina, para buruh memiliki kepentingan dan hak untuk turun tangan atas kasus bangkrutnya pabrik. Seperti yang dicatat oleh Marcelo Vieta dalam buku Workersโ€™ Self-Management in Argentina (2019), sejak krisis moneter yang melanda negeri itu, sebanyak 400 perusahaan telah diambil alih oleh para buruhnya, dalam bentuk Empresas Recuperadas por sus Trabajadores (ERT/ Pengambilalihan perusahaan oleh buruh). Contohnya adalah pabrik wol, pabrik coklat, dan hotel yang sepenuhnya dikelola oleh para buruhnya sendiri menyusul jatuhnya putusan pailit atas perusahaan.  Swakelola buruh adalah mekanisme yang memungkinkan perusahaan tetap beroperasi dan buruh tetap bekerja sehingga menjamin kelangsungan industri di Argentina, sekalipun berada di bawah krisis moneter. 

Swakelola bukan hanya terjadi di negara-negara yang mengalami krisis moneter. Di Perancis, swakelola yang dijalankan buruh di pabrik gelas ternama Duralex menjadi perhatian umum. Sama seperti Sritex yang disebut-sebut sebagai pabrik industri andalan negeri, Duralex adalah perusahaan gelas andalan Perancis. Berbeda dengan buruh-buruh pabrik Sritex, buruh-buruh pabrik Duralex mampu turun tangan mandiri mengambil alih operasional pabrik, tanpa harus menanti-nanti โ€œkemurahan-hatiโ€ pemerintah. 

Pengalaman Sejarah Kita 

Swakelola buruh sesungguhnya bukan hal yang asing di tanah air kita sendiri. Sayangnya, pengalaman sejarah tersebut dikaburkan dan sengaja dikubur dalam-dalam, sehingga gerakan buruh menjadi amnesia atas sejarahnya sendiri. 

Menurut historiografi Orde Ba(r)u, sebagaimana yang kita dapati dari buku-buku pelajaran sejarah pada masa itu, gerakan buruh telah menjadi kaki tangan komunisme yang mengacaukan negara. Oleh karena itu, di dalam negara Orde Ba(r)u, gerakan buruh mesti tunduk pada aturan-aturan dan kebijakan pemerintah agar menjadi โ€œserikat buruh yang bertanggung jawabโ€.  Swakelola buruh dianggap sebagai tindakan yang โ€œtidak bertanggung jawabโ€ sehingga tidak boleh ada di dalam kerangka pembangunan ekonomi negara.   

Menurut historiografi Demokrasi Terpimpin (1959-1965), gerakan buruh adalah salah satu pilar politik dalam keberlangsungan revolusi negara. Oleh karena itu, semua kegiatan serikat buruh mesti berjalan sesuai arahan presiden Soekarno sebagai Pemimpin Utama Revolusi. Swakelola buruh tidak dapat dibenarkan karena buruh menjalankan revolusinya sendiri di dalam pabrik, dan tidak mengikuti arahan presiden. 

Jadi, meskipun Orde Ba(r)u dan Soekarno punya sudut pandang yang berbeda atas apa yang disebut gerakan buruh, keduanya sama-sama tidak menyetujui swakelola buruh. Bagi mereka, swakelola buruh adalah ancaman kemandirian buruh. Oleh karena itu pula, baik di dalam historiografi Orde Ba(r)u maupun historiografi Demokrasi Terpimpin, swakelola buruh selalu dikecam, diberi berbagai label negatif, dan malah dicurigai. 

Dalam kenyataan sejarah, swakelola buruh mampu berjalan mulus dan menjadi kebanggaan para buruh. Pada masa 1945-1946, menyusul proklamasi kemerdekaan Indonesia dan vakumnya roda perekonomian, para buruh di beberapa kota di Jawa mengambil alih jawatan-jawatan negara, pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan swasta. 

Swakelola buruh pada masa itu berhasil menjalankan kegiatan dan operasional jawatan kereta api (sehingga layanan kereta api tetap berfungsi), perkebunan tebu (sehingga produksi gula tetap tersedia), dan pabrik tekstil dan goni (sehingga stok bahan sandang tetap ada di pasar). Dengan tidak ada pemilik perusahaan/bos/majikan, para buruh mengatur pembagian kerjanya bersama-sama di dalam Dewan Buruh, dan berbagi adil hasil produksi sehingga memungkinkan mereka tetap bekerja dan menghasilkan barang-barang kebutuhan. 

Swakelola berjalan mulus, sebagaimana dicatat oleh Selo Soemardjan di dalam risalahnya, โ€œBureaucratic Organization in a Time of Revolutionโ€ (1957): 

โ€œPimpinan dan anggota dewan buruhโ€ฆmengabarkan semua urusan yang penting kepada sesama buruh, melalui keputusan tertulis yang disampaikan melalui bagian komunikasi. Sebagai imbalan tambahan untuk buruh, dewan memutuskan untuk membagikan sebagian produksi gula kepada buruh, semua buruh mendapatkan jatah gula yang jumlahnya sesuai jenjang jabatan. Sebagian produksi disisihkan untuk menyokong pasukan gerilya. Hubungan dengan pihak luar pabrik dilakukan oleh pimpinan dibantu anggota dewan. Jadi, sepanjang beberapa bulan tersebut pabrik bertindak sebagai organisasi otonom, yang menolak campur tangan dari luar.โ€

Perjalanan swakelola buruh pada masa Agustus 1945โ€“Mei 1946 itu, sayangnya, berlangsung pendek karena kemudian dilarang oleh negara. Jawatan, perkebunan dan pabrik swakelola buruh tersebut dijadikan โ€œPerusahaan Negaraโ€ dan para buruh diserap menjadi โ€œburuh negara/pegawai negeriโ€. Semenjak itu pula, pengalaman sejarah swakelola buruh dikaburkan dan sengaja dikubur dalam-dalam. Akibatnya, gerakan buruh kita masa kini tidak punya rujukan sejarahnya sendiri yang memungkinkan mereka untuk belajar dan mengembangkan pengalaman-pengalaman terdahulu yang mandiri. Alih-alih, mereka malah menanti-nanti โ€œkemurahan hatiโ€ pemerintah untuk menyelamatkan mereka dari ancaman PHK.      

Kerangka Hukum 

Menurut Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004, pembayaran hak-hak buruh didahulukan saat perusahaan dinyatakan pailit. Di dalam kasus bangkrut PT Sritex, buruh telah masuk sebagai โ€œkreditor preferenโ€ setelah pembayaran tagihan pajak dan bea cukai perusahaan. Jadi, ada jaminan hukum bagi para buruh untuk memperoleh pembayaran upah dan hak-hak lainnya saat pabrik bangkrut.  

Meski begitu, buruh tidak punya hak dan kewenangan lainnya. Setelah dinyatakan pailit, aset-aset perusahaan akan dilelang dan perusahaan akan bubar, sehingga praktis buruh Sritex mesti mencari kerja di tempat lain. Buruh tidak punya hak tambahan yang memungkinkannya tetap bekerja di pabrik itu lagi. Undang-Undang Kepailitan 2004 memang banyak dipengaruhi Undang-Undang Kepailitan Amerika Serikat yang bersendikan ekonomi (neo)liberal dan anti-serikat buruh. Hal ini berbeda dari aturan hukum kepailitan di beberapa negara lain, seperti di Argentina dan Perancis, yang memungkinkan buruh menjadi pihak intervensi sebagai pihak yang akan mengambil alih perusahaan pailit, sehingga mereka tetap bisa bekerja di pabrik yang sama. Bahkan di Perancis, disebutkan bahwa perusahaan yang diambil alih oleh buruh dapat memperoleh keringanan pajak

Swakelola buruh juga tidak dikenal dalam hukum Indonesia. Di Perancis, swakelola buruh diakui dan umumnya mengambil bentuk hukum sebagai sociรฉte coopรฉrative et participative (Scop/worker cooperative/โ€œkoperasi buruhโ€). Meskipun Indonesia mempunyai landasan hukum tentang koperasi (UU No. 25/1992), tetapi masih ada batasan-batasan. Belum lagi, โ€œkoperasi karyawanโ€ yang selama ini ada di beberapa pabrik kebanyakan baru sebatas koperasi simpan-pinjam dan ironisnya, dalam beberapa kasus malah menjadi perusahaan outsourcing yang menyalurkan tenaga buruh outsourcing bagi perusahaan

Dengan membentuk organisasi yang kuat, buruh bisa menjadi pihak yang menentukan jalan perusahaan dan nasibnya sendiri, alih-alih menanti-nanti โ€œkemurahan-hatiโ€ pemerintah. Aksi damai ke Jakarta tentu tetap perlu dilakukan, tapi mesti diiringi pula dengan menyusun langkah-langkah taktis agar buruh dapat mengambil alih perusahaan. Pengalaman buruh Istana Magnoliatama di Jakarta memberi petunjuk penting perlunya jaminan hukum atas swakelola buruh. 

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memajukan diskusi tentang perlindungan buruh saat perusahaan bangkrut dengan menuntut sejumlah perubahan, baik di bidang kebijakan politik pemerintah di bidang industri maupun menyusun (ulang) kerangka hukum, yang memungkinkan para buruh untuk bertindak mandiri lewat praktek swakelola. 

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments